AYAHKU BUKAN PEMBOHONG
Hidup harus terus
berlanjut,tidak peduli seberapa menyakitkan atau membahagiakan, biar waktu yg
menjadi obat”
“Kau tahu, sembilan puluh
sembilan persen anak laki-laki tidak pernah lagi mau memeluk ayah mereka
sendiri setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan
persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk
anak-anaknya.” (hlm. 256)
Sepertinya fakta tersebut benar adanya. Umumnya, kita lebih
dekat dengan ibu dibandingkan dengan sosok ayah. Padahal ayah juga berperan
penting bagi anak-anaknya.
Adalah kisah seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng
kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya
sendiri. Di saat dia sudah tumbuh dewasa dan juga memiliki anak, dia baru tahu
apa arti seorang ayah. Seperti yang telah dilakukan ayahnya dari dulu hingga
dia memiliki cucu. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati.
Dengan kesederhanaan hidup bukan berati tidak ada kebahagian,
kebahagian ada pada seberapa besar keberartian hidup kita untuk hidup orang
lain dan sekitar, yap seberapa besar kita menginspirasi mereka. Kebahagian ada
pada hati yang bersih, lapang dan bersyukur dalam setiap penerimaan.
“…kebahagiaan itu datang dari
hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan.
Tidak peduli seberapa jahat dan merusak sekitar, tidak peduli seberapa banyak
parit-parit itu menggelontorkan air keruh, ketika kau memiliki mata air sendiri
dalam hati, dengan cepat danau itu akan bening kembali.” (hlm. 293)
Hidup sederhana, apa adanya, adalah jalan tercepat untuk melatih
hati di tengah riuh rendah kehidupan hari ini. Percayalah, memiliki hati yang
lapang dan dalam adalah konkret dan menyenangkan, ketika kita bisa berdiri
dengan seluruh kebahagiaan hidup, menatap kesibukan di sekitar, dan melewati
hari-hari berjalan, bersama keluarga tercinta.
Selain menara sekolah, gedung
perpustakaan adalah bagian paling menarik di Akademi Gajah. Aaakkk…jadi pengen jadi pustakawan di Akademi Gajah… \(´▽`)–(´▽`)/
Kami datang ke gedung perpustakaan pukul lima, saat pintu
perpustakaan siap ditutup. Petugas dengan tampang tidak ramah, lima belas menit
akan menceramahi kami soal berhati-hati, perpustakaan, dan buku-buku ini adalah
kekayaan tidak terkira Akademi Gajah sehingga kami harus menghormatinya lebih
dari menghormati diri sendiri… (hlm. 129)
Retro hanya mengomel selama tiga hari. Pada hari keempat justru
asyik membaca saat aku sudah selesai, mengajaknya kembali ke asrama. Ia
menemukan bagian yang menyenangkan di perpustakaan. Tiga hari bosan melihatku
menggambar, Retro menjelajahi seluruh sudut ruangan, dan ia menemukan satu rak
kecil yang tergeletak tidak penting di salah satu pojok perpustakaan. Buku-buku
menguning, bau, dengan huruf kecil-kecil khas buku tua berjejer rapi. Rak itu
penuh dengan buku cerita. (hlm. 130)
Kisah seorang anak bersama ayahnya
dan kehidupan dongeng ini mengingatkan akan buku Harun dan Samudera Dongeng yang ditulis Salman Rushdie. Harun penasaran dari mana ayahnya
mendapatkan dongeng-dongeng itu. Rasyid, Ayahnya yang disebut Raja Omong Kosong
mengatakan bahwa berasal dari Dongeng yang agung.
Begitupula tokoh ‘aku’ dalam buku ini, ayahnya selalu memberikan dongeng-dongeng untuk
diceritakan; ada si Nomor Sepuluh, Sang Kapten, dan lain-lain. Terlepas dari
itu, banyak hikmah yang dapat kita petik setelah membaca buku ini. Selain
hubungan antara ayah dan anak, kita diajak untuk merenungi hidup yang hanya
sebentar ini, yaitu sebuah kesederhaan. Ada juga selipan moral yang bisa kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selalu khas Tere Liye. Buku yang saya
baca ini telah memasuki cetakan keenam.
“Kekuasaan itu cenderung jahat
dan kekuasaan yang terlalu lama cenderung lebih jahat lagi. Semua orang
cenderung pembantah, bahkan untuk sebuah kritikan yang positif, apalagi sebuah
tuduhan serius berimplikasi hukum, lebih keras lagi bantahannya. Bangsa yang
korup bukan karena pendidikan formal anak-anaknya rendah, tapi karena
pendidikan moralnya tertinggal, dan tidak ada yang lebih merusak dibandingkan
anak pintar yang tumbuh jahat. Orang-orang dewasa yang jahat sulit diperbaiki
meski dihukum seratus tahun, jadi berharaplah dari generasi berikutnya
perbaikan akan datang. Istri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya bisa
menjadi penyebab sebuah kejahatan dan sebaliknya juga bisa menjadi motivasi
besar kebaikan.” (hlm. 185)
“…hakikat itu berasal dari hati
kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun
berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan
lebih bersih. Kita tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan sejati dari
kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik,
keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak
hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula
kebahagiaan. Sebaliknya, rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu
semua datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau
seketika keruh berkepanjangan.
0 komentar:
Posting Komentar